Anda Pengunjung Ke :

Kamis, 16 Juni 2016

#Day11 Apa Sebenarnya Kita Sama Buruknya?

Saya menemukan postingan ini di timeline line tadi pagi.
Sebuah opini yang sangat menarik mengenai sikap anak jalanan yang -biasanya kita menyebutnya- tidak tahu terimakasih. Saya kutip kesini, yak ceritanya. Sangat worth untuk dibaca ^^


------------------------------------------------------------------------------------
Setelah beberapa bulan yang lalu mengalami kecelakaan motor, otomatis kemanapun aku pergi selalu diantar-jemput oleh orangtua, kakak, atau teman-teman di asramaku yang berbaik hati menawarkan tumpangan. Tapi pernah suatu malam, aku harus buru-buru pulang ke asramaku di jalan lenteng agung untuk mengambil berkas yang tertinggal, tak ingin merepotkan siapapun, aku memilih angkot 19 dari belakang stasiun UI.

Malam itu, aku pergi ke asrama dengan kepala berat dan badan berjuang tegak supaya saluran nafas menyisakan ruang bagi oksigen buat numpang lewat. Pening. Seandainya tidak harus mengantar berkas itu kepada temanku di kampus, yang ada di pikiranku Cuma satu: sampai di kamar lalu tidur. Aku pun seolah terasing dari lingkungan sekitarku. Tidak sadar apa yang terjadi di sekelilingku, termasuk saat seorang gadis kecil naik ke atas angkot. Ketika itu jalan margonda ke arah pasar minggu macet parah.

Aku berusaha sekuat tenaga menahan kantuk, terakhir kuingat, anak perempuan yang mengamen itu menggerak-gerakkan kecrekan dan mulai bersenandung (kalau bisa disebut senandung) dengan suara yang membuat kepalaku serasa dihantam godam entah dari mana. Aku pun terpejam. Beristighfar. Mencoba mereduksi sakit yang timbul. Sampai tiba-tiba,,,sebuah sentuhan (lebih tepat pukulan) kasar mendarat di atas pahaku. Tersentak aku mebuka mata. Lebih dari nyeri yang kurasa, aku lebih ingin tahu apa yang terjadi.

Ternyata gadis kecil tadi tengah menyodorkan plastik chitato untuk meminta imbalan jasa suaranya barusan. Aku meraba-raba kantong. Saat itu hanya ada selembar 100.000, selembar 2000 yang akan kugunakan untuk membayar angkot, dan sekeping 500 rupiah. Bisa ditebak, aku pun mengeluarkan 500 rupiah dan memasukkannya ke dalam plastik tadi. (masya allah,,, masih kurang amal .__.)

Anak itu melihat ke arah kepingan yang kuberikan. Merogoh ke dalam plastik, lalu tiba-tiba ia membantingnya di hadapanku sambil berteriak

“B*NGSAT LO MBAK!”

Aku tersentak, terbelalak menatap gadis itu, pening yang begitu dahsyat membuatku bingung sendiri harus menyetel ekspresi seperti apa. Penumpang yang lain mulai berkomentar

“Anak gak tau diuntung,,udah bagus ada yang ngasih,,,” kata bapak di sebelahku

“Iya ni,,gak sopan banget sih!!” seorang mahasiswi cantik di sebelahku membentak

Dan sejenisnya. Terlalu ramai sampai yang kuingat hanya dengingan-dengingan seperti lebah. Aku bingung, dengan segala kepolosan (tepatnya ke-dodolan) aku malah bertanya.

“Emang kenapa saya bangsat dek??” (nahloh,,,klo diinget-inget malu juga, ampun deh kenapa udah segede gini belet gak abis-abis sih? bukannya ngamuk malah bengong .___,

Jawab sang adik,,,”Kalo gak mau b*ngsat berarti lo A*jing!” matanya melotot.

Nahloh,,,disuruh milih, bagusan mana yaa?? Lucu mana yaa?? (ini pasti pengaruh flu akut yang mebuat otakku gak bisa membedakan mana yang harus dipikirin mana yang enggak, karena aku bener-bener mikir mana yang sebaiknya kupilih) plis jangan bayangin, muka ku waktu itu, udah seratus persen idiot. complete! .__.”

Sementara itu berbagai makian dan cacian berlontaran dari penumpang lain di dalam angkot..,

Ada beberapa kalimat yang kuingat :
“Dek, ibunya siapa sih?? kok gak tau adab banget??”
“Ibu lo monyet yaa??” kata seorang bapak
“Paling anaknya Perek!” sahut seorang ibu
Astaghfirullahal’adzim,,,,!!!

aku tertegun,,,sedikit demi sedikit tersadar.. di mana aku sekarang?? Kutatap satu persatu penumpang yang mengeluarkan sumpah serapah. Masing-masing mempermasalahkan tata krama si anak, lalu apa yang mereka lakukan?? Sama!

Ada sebersit pilu. Penumpang dalam angkot ini semua sepakat tidak setuju dengan sikap sang adik. Masing-masing berceramah seolah-olah mereka yang paling berpendidikan. Lalu mengapa aku merasa, yang dilakukan para penumpang maupun sang adik tidak ada bedanya, bahkan jauh lebih parah. Pengamen cilik itu anak jalanan yang entah pernah atau tidak mengenyam pendidikan. Tapi para penumpang ini?? Dari cara berpakaiannya jelas mayoritas golongan berpendidikan dengan status sosial menengah ke atas. Lalu apa yang terjadi?? Apa yang mereka lakukan??

Kepalaku semakin pusing. Supir angkot terus mengemudi perlahan di tengah macet tidak peduli di bagian belakang mobilnya tengah berlangsung pergulatan seru. Aku membuka tas, teringat konsumsi saat mengisi seminar sore hari yang belum kumakan, lalu kuberikan

“Dek,,maaf yaa kakak gak ada uang lebih, tapi ini ada makanan, mau yaa??” aku mencoba membujuk sambil mengambil koin 500 yang dibantingnya dan menyodorkan kembali. Sejenak kami bertatapan sebelum Ia mengulurkan tangannya dalam diam dan mengambil pemberianku. Seluruh penumpang serempak berteriak kasar pada adik perempuan kecil itu “DASAR MUNAFK!!’. Saat itu juga, angkot berhenti hendak mengambil penumpang. Adik kecil tadi menatapku sesaat lalu berlari pergi diiringi sumpah serapah para penumpang yang terlihat puas.

“Wooooo!!dasar!!!”

“Udah miskin gak tau diri!!”

Aku terdiam. Bengong sampai beberapa detik kemudian aku baru menyadari asramaku sudah terlewat. Setelah turun dari angkot, aku masih terngiang tatapan terakhir adik kecil itu. Ia menangis! Yaa! Ada yang menggenang di kedua bola matanya sebelum akhirnya Ia melenggang acuh.

Hatiku kebas. Sisi simpati yang selama ini coba kuredam akhirnya menyeruak. (hmm,,kebiasaan buruk banget, harus latihan lebih banyak supaya lebih empati dan bukan simpati!). Aku mencoba berpikir, kenapa yaa Dia semarah itu saat menerima 500 rupiah??

Berbagai berita yang pernah kudengar menyeruak, mungkin ada yang akan menyiksanya kalau tidak bisa memenuhi setoran?? mungkin ada keluarganya yang sakit dan Ia butuh uang?? Mungkin.. mungkin.. 1001 mungkin…

Tapi ada yang lebih mengiris batinku,,,ku-eja lagi kata-kata sang adik dalam kepalaku BANGSAT LO MBAK! Wew,,,sekilas emang super gak sopan,,tapi,,klo dipikir-pikir kalimat ini sebenernya nanggung!! Ada yang KONTRADIKTIF di sini. BANGSAT jelas serapah yang jauh dari tata karama, tapi MBAK??

Menarik. Disaat marah pun sebenarnya sang adik masih ingat bagaimana sebaiknya memanggil orang yang lebih tua. Ada nilai-nilai kepolosan yang belum terampas oleh kerasnya kehidupan jalanan. Lalu,,,apa yang dilakukan para penumpang??

Sebagai seorang yang lebih berpendidikan, begitu sulitkah memahami yang terjadi, bahwa kata-kata yang terlontar dari sang adik tidak semata-mata lahir dari hatinya, melainkan konformasi akhir episode-episode yang dilalui setiap harinya. Di jalanan.

Tak bisakah memahami “BANGSAT LO MBAK” dengan pemaknaan lain. Dengan hati. Lewat rasa.. Dan berusaha mengejanya lewat sudut pandang berbeda? Hingga kata-kata itu akan terdengar,,,

“TOLONGLAH AKU!"

Tolong aku,
karena aku tidak tahu makna kehidupan selain berpindah dari angkot satu ke angkot lain
karena saat anak-anak lain ditemani boneka aku sepanjang hari memeluk kecrekan
karena aku juga ingin tahu rasanya memakai seragam dan pergi sekolah
karena aku benci menjadi miskin dan kelaparan

Tolong aku,,,karena aku tidak tahu bagaimana mengekspresikan kekecewaan selain dengan kata BANGSAT atau ANJING, itulah yang kudapat dari pengalamanku selama ini,,

Pertanyaannya, sudahkan kita menolongnya? Dengan mengatakan bahwa Ibunya MONYET atau PEREK? Yaa,,memang menolong, menolongnya untuk semakin menyadari memang itulah yang benar. Kata-kata itulah yang ada di kamus orang-orang berpendidikan. Memori kecilnya akan mengingat baik-baik dan mengendapkannya menjadi sebuah karakter.

Lalu, saat tingkat kriminalitas di jalanan semakin memuncak, atau terminal menjadi area penuh sumpah serapah, SIAPAKAH YANG SALAH??
Apakah Mereka??

Sedang undang-undang negeri ini menyebutkan :

“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Pasal 9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002

Ironis.

(semoga kelak kita bisa lebih banyak berbuat, mengubah kondisi sekitar dengan bekerja. Bukan dengan sumpah serapah apalagi cacian dan makian. Semoga kelak kita bisa menjadi orangtua yang bertutur kata halus dan lembut. Orangtua yang sebenar-benarnya menjadi role model  bagi penerus kita kelak) amiinn.

Tulisan oleh: 

Uti Fitri Kurniawati / @Utyputryy
Ilmu Kesejahteraan Sosial
Universitas Indonesia
Angkatan 2011

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah baca tulisan tadi saya jadi inget dulu pernah juga digituin sama pengamen deket kampus. Saya kasih 500 perak terus malah dikembaliin sama dia. Saya kesel sendiri dan sempet ngatain dia dalam hati bahkan saya menceritakan hal itu juga pada teman teman saya seakan saya yang paling benar.

Memang memberi uang ke pengemis atau anak jalanan bukan solusi dan tidak akan menyelesaikan masalah, tapi dengan kita suudzonin dan mengumpat dia habis-habisan juga gak ada bedanya, justru lebih memperburuk suasana dan psikologisnya.

Bismillah semoga kita menjadi generasi yang bisa menemukan solusi nyata untuk masalah ini.
T__T

Tidak ada komentar: